Jakarta, benang.id – Panitia Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup, menyelenggarakan seminar kedua dengan tema “Selamatkan Tano Batak, Lestarikan Danau Toba” yang bertujuan sosialisasi Gerakan Tutup PT. TPL yang sudah disuarakan Pucuk Pimpinan HKBP. Kedua kegiatan akan berpuncak pada acara Doa Bersama yang akan diselenggarakan bersamaan dengan Hari Peringatan Kemerdekaan RI 2025, dengan menyuarakan solidaritas kepada Masyarakat Batak yang menjadi korban perampasan tanah adat dan pelanggaran HAM akibat operasi PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Hal ini ditegaskan Pdt Oloan Nainggolan, Praeses Distrik VIII Jakarta. “Jika ada makluk yang menderita sakit atau bahkan musnah dari atas sisik bumi ini, merupakan tanggungjawab kita bersama untuk mencari, mempertanyakan, hingga merawatnya. Karenanya, seruan Tutup TPL adalah panggilan iman, melampaui dorongan akal pikiran dan jiwa semata,” katanya sebagai pengantar diskusi di Gereja HKBP Kebayoran Baru.
Panggilan iman ini juga tidak sebatas Tutup TPL saja, lebih jauh adalah Identitas Masyarakat Batak Toba yang secara genealogis melekat dengan Tanah Batak dan Danau Toba. “Sebagai Masyarakat Batak, Danau Toba harus dilihat dalam dimensi yang lebih kompleks, sebagai manusia yang terhisap akibat industri-industri ekstraktif di sekitar Danau Toba. Jika Tanah Batak hilang, tidak relevan lagi menyebut identitas sebagai Masyarakat Batak Toba,” kata Pdt Prof. Septemmy E Lakawa TnD, dari Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta.
“Tidak ada keadilan sosial tanpa keadilan ekologis. Dalam Kitab Kejadian yang sangat agraris, relasi antara manusia dan tanah adalah relasi kekudusan, kerja-kerja di atasnya harus memiliki nilai spiritual untuk ekonomi cukup, bukan ekonomi kapitalis seperti PT. TPL. Karenanya, kerja-kerja advokasi Gereja harus memperluas relasi kekudusan, serta membongkar relasi antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial yang ada di Masyarakat Batak,” tambahnya.

Relasi-relasi yang menentang kapitalisme ini sebetulnya telah ada dalam petani dan masyarakat adat di Indonesia, termasuk oleh Masyarakat Batak. Setidaknya terdapat 119 Kelompok Usaha Masyarakat Adat (KUMA) dan 54 Badan Usaha Masyarakat Adat (BUMMA) yang menjadi jalan keluar masyarakat adat dari kemiskinan.
“Dengan kekayaan pengetahuan, sistem pertanian adat yang dilakukan oleh generasi muda adat, perempuan adat dalam mengelola alamnya, telah menghasilkan nilai ekonomi yang sangat tinggi dari wilayah adat, serta pengelolaan secara berkelanjutan dan adil,” kata Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
“Karena itu, Pemerintah harusnya menghentikan perampasan tanah adat untuk investasi, termasuk PT TPL, sehingga dapat melepaskan ketergantungan pada investor skala besar yang selama ini hanya mengeruk kekayaan kita, merusak alam dan tidak adil kepada rakyat Indonesia,” tambah Rukka.
Perampasan wilayah adat dan pengrusakan lingkungan yang dilakukan PT TPL ini bertentangan dengan Konstitusi, utamanya Pasal 33 (3) UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). “Dalam UUPA, tercitra teologi tanah dan lingkungan, bahwa tanah tidak sekedar komoditas ekonomi, harus menghormati hak asal-usul tanah (masyarakat adat), menolak monopoli tanah dan penghisapan manusia di atas manusia lain,” kata Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
“Dengan kembali pada UUPA 1960, memaksimalkan Putusan MK 35/2012, dan Perpres Reforma Agraria, maka Pemerintah harus segera melaksanakan Reforma Agraria sebagai jalan penenuhan keadilan dan kesejahteraan bagi Masyarakat Batak, termasuk pekerja TPL yang selama ini hak-haknya tidak dipenuhi oleh PT TPL,”tegas Dewi.
Sejalan dengan itu, Supardy Marbun, pensiunan Kementerian ATR/BPN menambahkan bahwa, “Negara seharusnya menjalankan hak menguasai negara yang diatur dalam Konstitusi untuk segera memenuhi hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya,” katanya.
Dengan pemulihan hak atas tanah, akan selaras dengan penyelesaian konflik agraria; menata ulang monopoli penguasaan tanah dan kekayaan agraria nasional yang lebih berkeadilan bagi petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, termasuk pekerja TPL (dan seluruh kelas pekerja) untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera.
“Sebab petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, memiliki kemampuan dalam mengembangkan ekononomi yang memaksimalkan potensi dibsetiap lokasi. Karena itu, hilirisasi industri yang didorong bukan seperti TPL, tetapi yang hilirisasi yang memperkuat peran-peran rakyat dan berbasis ekonomi lokal,” tambah Bhima Yudisthira, dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Dengan demikian, Tutup TPL tidak sekadar menjabarkan krisis multidimensi akibat operasi PT TPL, lebih jauh adalah cara mengembalikan konstitusionalitas Masyarakat Tano Batak dan tanah untuk rakyat lainnya; konsolidasi untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada; serta pemenuhan keadilan dan kesejahteraan bagi Masyarakat Tani Batak, Petani, Pekerja/Buruh Eks. TPL melalui Reforma Agraria.
Seminar kemudian mengajak semua pihak meneguhkan tekad sebagai umat Allah untuk hidup selaras dengan ciptaan. Bukan karena tren, bukan karena tekanan, tetapi karena iman yang hidup dan bertanggung jawab. Dalam dunia yang makin rusak, umat Allah menjadi tangan-tangan pemulih, dan dalam dunia yang penuh luka, semoga gereja menjadi suara kasih yang memeluk bumi ini.
“Seminar ini merupakan diskusi kedua dari rangkaian Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup. Kepanitiaan ini dibentuk sesuai SK Ephorus HKBP, untuk merespon perampasan tanah dan pengrusakan lingkungan akibat operasi TPL di Tano Batak. Karena itulah kita harus terlibat dalam ‘Selamatkan Tano Batak, Lestarikan Danau Toba’ yang menjadi tema diskusi,” kata St Dr Leo Hutagalung
Aksi puncak “Doa Bersama” akan dilaksanakan bersamaan dengan peringatan Hari Kemerdekaan RI 2025, bersama jemaat HKBP di Distrik Jakarta, Bekasi, Deboskab, dan Banten, serta komunitas pendukung gerakan ini, akan dihadiri 2025 orang,” tambahnya.
Aksi Doa Bersama ini diinisiasi Gereja HKBP bersama Kelompok Studi dan Pengembangan Pemrakarsa Masyarakat (KSPPM), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), dan Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS). (*/GK)