
Oleh: Dr Anggawira *)
Gelombang aksi massa yang marak belakangan ini mencerminkan gejala serius: adanya krisis kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Di tengah situasi aktual, sorotan publik kerap tertuju pada pemerintah maupun aparat, namun sejatinya ada satu institusi yang perannya sangat menentukan arah demokrasi kita: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Harapan Reformasi 1998 dan Kenyataan Hari Ini
Dua puluh enam tahun lalu, rakyat bangkit melalui Reformasi 1998 dengan satu cita-cita besar: membangun pemerintahan yang kuat, bersih, dan berpihak pada rakyat. Reformasi melahirkan demokrasi elektoral, desentralisasi, serta kebebasan berpendapat. Namun, dalam kenyataannya, banyak harapan itu belum sepenuhnya terwujud.
Kita memang memiliki pemerintahan yang lebih terbuka, tetapi lembaga legislatif seringkali masih jauh dari kualitas yang diharapkan. DPR kerap dipersepsikan hanya menjadi arena kompromi politik, bukan ruang perumusan gagasan besar bangsa.
Padahal, pemerintahan yang kuat dan bersih hanya bisa lahir jika DPR diisi oleh orang-orang terbaik: negarawan, intelektual, profesional, dan politisi yang berintegritas. Tanpa itu, yang terjadi hanyalah kompromi politik yang sempit, bukan keputusan yang visioner.
Mengarahkan Gelombang Protes ke Substansi
Gelombang kritik dan protes rakyat tentu sah dan dijamin konstitusi. Namun, tuntutan publik jangan berhenti pada permintaan untuk menonaktifkan atau menurunkan satu-dua figur anggota DPR—misalnya nama-nama seperti Syahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, atau pun Uya Kuya.
Perlu disadari, mengganti satu-dua orang tidak akan mengubah apa-apa jika sistem yang melahirkan mereka tetap sama. Tanpa perubahan aturan main, parlemen hanya akan terus melahirkan wajah lama dengan pola lama.
Karena itu, tuntutan protes harus diarahkan ke hal-hal yang substantif dan berkelanjutan:
• Reformasi sistem Pemilu agar lebih transparan dan berbasis rekam jejak serta kualitas, bukan sekadar popularitas atau kekuatan finansial.
• Revisi UU Partai Politik agar partai menjadi ruang meritokrasi, bukan kartel yang dikuasai segelintir elit.
• Pembatasan masa jabatan anggota DPR agar tercipta regenerasi politik yang sehat.
• Membuka ruang bagi akademisi dan profesional untuk masuk ke parlemen, sehingga kualitas legislasi lebih bernas dan berlandaskan ilmu serta pengalaman praktis.
Arah Perubahan Sistemik
Inilah koreksi fundamental yang seharusnya dikawal bersama. Gelombang protes rakyat harus menjadi energi kolektif untuk mendorong perbaikan sistem politik.
Jika tidak, bangsa ini akan terus terjebak dalam siklus “ganti orang tapi tidak ganti sistem.” Padahal, cita-cita Reformasi 1998 menuntut lebih dari itu: sebuah sistem demokrasi yang menghadirkan pemerintahan kuat, bersih, dan DPR yang benar-benar representatif.
Penutup
Kita tidak boleh kehilangan arah. Reformasi kelembagaan DPR adalah agenda korektif utama yang harus kita kawal bersama. Tuntutan publik harus bertransformasi menjadi dorongan untuk memperbaiki sistem Pemilu dan Partai Politik, membatasi masa jabatan anggota DPR, serta memberi ruang bagi tokoh-tokoh terbaik bangsa masuk ke parlemen.
Karena kualitas demokrasi tidak hanya ditentukan oleh siapa yang duduk di pemerintahan, tetapi juga oleh siapa yang kita tempatkan di kursi legislatif. Dan di sanalah masa depan bangsa dipertaruhkan. (**)
*) Sekjen BPP Hipmi, Dosen Tetap STIH IBLAM, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran