Jakarta, benang.id – Perusahaan sangat antusias dalam melakukan digitalisasi pengalaman dan keterikatan pelanggan (customer experience and engagement) terlepas adanya berbagai tantangan yang dihadapi untuk mencapai kesuksesan tersebut.
Demikian temuan hasil riset terbaru DBS Bank Ltd (DBS) mengenai transformasi digital.
Temuan-temuan ini didasarkan atas survei tingkat global pada 1.225 eksekutif dari tim komersial dan keuangan/treasury di 22 pasar di Asia Pasifik, Eropa, dan Amerika Serikat, merepresentasikan keseimbangan perspektif kedua kelompok ini yang jarang ditemukan dalam riset-riset lainnya.
Riset ini menunjukkan bahwa 64% bisnis di seluruh dunia memiliki pendekatan struktural untuk transformasi digital yang mengarah kepada pelanggan dengan 33% responden mengejar peningkatan secara ad-hoc. Meskipun demikian, hanya 17% responden yang mengaku strategi mereka cukup efektif, sementara empat dari sepuluh responden (39%) berkata bahwa usaha transformasi mereka gagal atau mengecewakan.
Survei ini mendapati kesiapan perusahaan secara global dalam menyukseskan transformasi digital yang dibagi menjadi tiga kategori, salah satunya “leaders” atau perusahaan yang mampu melaksanakan transformasi secara konsisten, strategis, dan efektif. Di Asia, Indonesia memiliki proporsi leaders terbanyak (13%), diikuti dengan Vietnam dan India (12%), Singapura dan Tiongkok (10%), Taiwan (9%), dan Hong Kong (7%).
Group Head, Global Transaction Services, DBS Lim Soon Chong mengatakan, selain berinvestasi untuk teknologi, para pemimpin pasar dalam transformasi digital memahami bahwa keterampilan baru dibutuhkan untuk masa depan yang semakin digital.
“Pemimpin pasar mengambil langkah untuk membangun ketenagakerjaan yang lebih solid dan menanamkan pola pikir kolaboratif antar tim,” tutur Lim Soon Chong.
Tantangan yang kerap dihadapi oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia ketika divisi keuangan dan treasury bekerja sama untuk bertransformasi digital adalah perbedaan pengukuran kesuksesan (49%) dan kesulitan pengaksesan data (43%). Perusahaan-perusahaan tersebut menyatakan Cloud (49%), analisa tingkat lanjut atau advanced analytics (46%), dan Application Programming Interface atau API (44%) adalah teknologi digital dan pembayaran terpenting untuk mewujudkan transformasi digital dalam divisi keuangan dan treasury.
Dalam lingkup treasury, responden memprioritaskan pelaporan keuangan (46%) sebagai aspek utama dalam digitalisasi. Selain itu, terdapat investasi (38%), pengadaan atau procurement (33%), manajemen modal kerja (26%), pengelolaan uang tunai dan likuiditas (23%), dan manajemen risiko (23%). Ketika berkolaborasi dengan pihak eksternal untuk mengembangkan inovasi perbankan dan transformasi digital, lebih dari setengah responden memilih untuk bekerja sama dengan bank (54%), diikuti oleh fintech (21%), konsultan (8%), dan kombinasi dari ketiganya (18%).
Untuk membantu bisnis-bisnis mencapai tujuan komersialnya, sales dan marketing (36%) merupakan area yang paling dibutuhkan dalam transformasi digital, diikuti dengan keuangan/treasury (25%), sedangkan human resources atau HR berada pada posisi paling bawah (3%).
Group Head of Institutional Banking, DBS Tan Su Shan mengatakan, dengan akselerasi adopsi digital di era pasca-pandemi, fungsi treasury dan komersial seyogyanya berkolaborasi dan beradaptasi dengan cara kerja baru yang meliputi penggunaan analisa data, artificial intelligence (AI), dan bahkan platform-platform blockchain agar dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
“Cara bekerja yang baru ini membutuhkan pergeseran pola pikir secara kultural di mana para pemilik bisnis dan divisi treasury terbuka untuk memanfaatkan perangkat yang machine-driven dalam membuat prediksi, tes parameter risiko dan stres, atau membuat keputusan yang lebih baik,” imbuhnya.
Tan Su Shan menambahkan bahwa transformasi digital merupakan perjalanan yang berkesinambungan bagi seluruh organisasi yang berani mengambil risiko, “Setiap divisi perlu memiliki visi yang jelas, selaras, dan strategis. Untuk mencapai hasil yang maksimal, mereka juga harus berlapang dada menerima kegagalan, belajar dari kesalahan, dan senantiasa memperbaiki diri.”
Indonesia turut mengambil langkah-langkah untuk mencapai transformasi digital. Oleh karena itu, pendekatan customer-centric dan inovasi yang radikal semakin penting untuk mengakselerasi transformasi digital. (*)