Salerno, benang.id – Bagi orang yang tinggal dan hidup di luar negeri dalam waktu lama baik untuk bekerja, berkarya, atau pun menuntut ilmu, tentu sering mengalami perasaan rindu akan tanah air. Rasa kangen yang timbul bisa menyangkut keluarga, teman, suasana kampung halaman, atau pun masakan hingga lagu daerah.
Tak terkecuali bagi diaspora katolik termasuk di dalamnya para misionaris seperti imam, bruder, dan suster, yang belajar atau pun mendapat tugas misi pelayanan di luar negeri.
Tidak masalah sebetulnya, jika rindu itu muncul bertepatan dengan masa liburan atau cuti sehingga bisa segera mudik ke tanah air. Problemnya, rindu bisa datang sewaktu-waktu di tengah kesibukan mereka belajar atau pun bekerja.
Nah, di sinilah setiap diaspora ternyata punya cara masing-masing untuk mengobati rasa rindunya akan tanah air. Pun demikian dengan Romo Ferdinandus Supandri SX yang sudah 6 tahun lamanya berkarya di Salerno, wilayah bagian Selatan Italia.
Romo Pandri, demikian ia akrab disapa, punya kiat sendiri jika dilanda rasa rindu. “Saya suka mendengarkan lagu-lagu daerah Flores dan lagu-lagu Indonesia lainnya,” akunya kepada benang.id yang bersama Romo Antonius Suhermanto Pr dari Keuskupan Tanjungkarang, yang tengah studi doktoral (S3) di Roma, dan AM Putut Prabantoro, Taprof Lemhannas bidang Sosial Budaya dan Ideologi berkunjung di kediamannya di Salerno, Juni lalu.
Maka jangan heran jika di setiap kegiatan bersama umat di Salerno, Rm Pandri acap menenteng portable speaker. Begitu pun ketika acara perpisahan Dubes Laurentius Amrih Jinangkung dan keluarga dengan para misionaris di Napoli dan kota sekitar yang digelar di Biara Kongregasi Maria SS Addolorata, Napoli, Italia, 18 Juni 2022 lalu.
Rm Pandri yang sebelumnya memimpin Misa Kudus turut andil membuat acara ramah tamah perpisahan Dubes Amrih Jinangkung bertambah semarak dan penuh kegembiraan. Betapa tidak? Dengan lincah jari jemari Rm Pandri men-searching lagu-lagu untuk kemudian diperdengarkan lewat portable speaker-nya. Maka mengalunlah lagu-lagu Poco-poco, Gemu Famire, Tobelo, ataupun tembang daerah lainnya hingga berbagai lagu dangdut khas Indonesia, dan sekitar 70-an biarawati Indonesia dari berbagai ordo, para romo serta semua yang hadir dalam acara istimewa itu pun asyik berdansa bersama dan berjoget ria.
Selain mendengarkan lagu, memasak dan menyantap makanan Indonesia adalah cara lainnya bagi Rm Pandri untuk mengobati kangen. “Yah memasak yang mudah dan sederhana saja seperti tumis kangkung ataupun tumis pare sudah membuat saya bahagia,” katanya.
Untuk mendukung kesukaannya mengolah masakan Indonesia, Rm Pandri dengan kreatif memanfaatkan lahan-lahan di seputar biara untuk menanam sayur mayur, seperti kangkung, tomat, cabe, hingga pare.
“Mengobati rasa kangen iya, hemat biaya juga iya apalagi yang mau dicari,” sahut Rm Pandri ketika ditanya kenapa menanam sendiri. Dan, kami semua pun tertawa membuncah.
Ditahbiskan 30 Agustus 2016
Dikutip dari blog pribadinya, Romo Ferdinandus Supandri SX ditahbiskan menjadi imam di Paroki Santo Fransiskus Asisi, Aek Nabara, pada 30 Agustus 2016 oleh Monsignor Anicetus Bongsu Sinaga Ofm Cap, Uskup Agung Keuskupan Medan.
Sebelum ditahbiskan, selama 11 tahun Frater Pandri dibimbing dan dibentuk oleh Tuhan lewat nasihat, didikan, contoh dari orang tua dan keluarganya, juga sahabat, kenalan, para pastor dan para pendidik yang telah mendampinginya termasuk koleganya sesama frater.
Oleh karena itu Romo Pandri meyakini bahwa rahmat imamat khusus yang ia terima bukanlah hasil perjuangan diri pribadinya sendiri, bukan pula karena kepintarannya belaka, juga bukan karena dirinya lebih dari yang lain; melainkan karena Tuhan mendengar dan merestui kerinduannya, juga mendengar doa-doa umat Paroki St Mikael Nunang, Nunang, Wae Sano, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Salah satu momen terindah yang sangat dikenangnya sebagai imam tatkala Rm Pandri – yang mendapat tugas perutusan ke Italia hingga sekarang– berkesempatan memimpin misa perdananya di Paroki St. Mikael Nunang, pada tanggal 11 September 2016.
Pasalnya, misa perdananya dihadiri orang-orang yang sangat mengasihi diirnya dan mengantarkannya menjadi imam. Keluarga, sahabat, kenalan, umat paroki Nunang, dan para konfrater Xaverian.
“Saya merasakan sungguh hal itu terjadi. Di lain pihak saya memusatkan perhatian pada hal yang terkandung di balik kehadiran mereka: mereka datang untuk merayakan apa yang Tuhan kerjakan dalam hidupku melalui campur tangan mereka. Sebenarnya bukan saya yang menjadi obyek perhatian pada saat itu, melainkan terpusat pada rasa syukur karena Tuhan mendengar doa-doa kami. Di balik banyaknya umat yang hadir saya menangkap atau memetik sebuah pesan yang sangat mendalam dan sangat besar yaitu bahwa mereka datang mendoakan dan mendukung saya. Ini merupakan sebuah panggilan dan tugas yang perlu kuingat selalu dan perlu kujalani,” ucap Rm Pandri bersaksi. (*)
Gora Kunjana dari Salerno, Italia