Jakarta, benang.id – Ruang seni publik portabel pertama di Indonesia, LQID Creative Space resmi hadir di kawasan premium Sudirman 7.8, Jakarta. Mengusung konsep “The First Portable Urban Art Gallery in Indonesia”, LQID dirancang sebagai third place yang memadukan seni, desain, musik, dan interaksi sosial, sekaligus mengaktifkan ruang publik kota.
Pembukaan LQID Creative Space ditandai dengan pameran perdana yang bertajuk “Dentuman Alam”, (dalam bahasa Indonesia) dengan judul asli Organic Rhytm, kolaborasi dua seniman lintas negara: Popo Mangun (Indonesia) dan Low Moromi (Jepang). Pameran ini dibuka pada 17 Agustus 2025 pukul 15.00 WIB di LQID Creative Space, Sudirman 7.8, Jakarta, berlangsung hingga 5 Oktober 2025 dengan kurator Gie Sanjaya.

Menurut Gie Sanjaya, melalui catatan kuratorialnya yang berjudul Organic Rhythm pameran ini mempertemukan dua seniman dari latar geografis yang berbeda, namun disatukan oleh kepekaan terhadap denyut kehidupan alam dan spiritual.
“Pameran ini bukan sekadar pertemuan gaya, melainkan dialog antara lanskap batin dan memori leluhur, antara tubuh dan bumi, antara keheningan dan ritme,” tutur Gie Sanjaya, dalam Tur Media di LQID Creative Space, Sudirman 7.8, Jakarta, Selasa, 19 Agustus 2025.

Ia mengungkapkan bahwa karya Low Moromi terinspirasi oleh konsep Yu-un, lanskap mental yang meminjam bentuk awan sebagai simbol waktu, ruang, dan rasa. Estetika Jepang yang ia hadirkan bukan hanya visual, tetapi juga psikis dan spiritual—menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan dan kekuatan dalam keheningan.
Sebaliknya, lanjut Gie Sanjaya, Popo Mangun menghadirkan energi mentah tropis dengan mitos, simbol, dan geometri sakral Nusantara. Fragmen tenun, ukiran, hingga guratan menyerupai bahasa purba muncul bukan sebagai ornamen, tetapi sebagai mantra visual yang lahir dari tubuh, ritual, dan pengalaman.

“Meski berasal dari konteks budaya yang berbeda, karya keduanya berdenyut dalam ritme yang sama—ritme alam, waktu, dan jiwa. Tidak ada dominasi ruang, melainkan ruang yang dibiarkan bernapas; sebuah perjalanan bersama antara bentuk dan makna, antara visual dan spiritual,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Wilbert J Deil, CEO LQID Creative Space mengatakan, berbasis ergapods—struktur prefab multifungsi—LQID menghadirkan mini galeri seni dengan pameran bergilir setiap tiga minggu, toko konsinyasi berisi karya kreatif terkurasi dari Indonesia dan Jepang, serta area speakeasy yang menyajikan craft beer dan alkohol lokal.

“Program lain termasuk musik SenyuMusik untuk talenta baru lintas genre, dan The Artisan Hour—workshop kreatif berdurasi 1,5–2 jam,” jelasnya.
Dengan lokasi strategis terhubung langsung ke MRT Setiabudi Astra dan BRT Karet Sudirman, LQID mengaktifkan kawasan pejalan kaki melalui Art Trail—jalur seni dari stasiun MRT menuju galeri—serta Mural Fence Project yang mengubah pagar dan fasad menjadi instalasi mural kolaboratif.

“LQID Creative Space adalah perwujudan ruang kreatif yang terbuka, fleksibel, dan relevan dengan gaya hidup urban. Kami ingin menghapus jarak antara seni dan publik, menghadirkannya langsung di ruang-ruang sehari-hari,” pungkas Wilbert J Deil. (*/GK)