Jakarta, benang.id – Universitas Paramadina kembali menggelar program Meet The Leaders dengan menghadirkan tokoh inspiratif Arsjad Rasjid, Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Indonesia, sebagai pembicara utama.
Dalam forum bertajuk“Driving Inclusive Growth: Innovation, Industrialization and Energy Transition for Job Creation”, Arsjad menyampaikan refleksi tajam dan strategi masa depan tentang tantangan dan peluang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Bertempat di Auditorium Benny Subianto, Universitas Paramadina Kampus Kuningan, Sabtu (19/7/2025) acara ini dibuka oleh Prof Didik J Rachbini PhD, dan dipandu olehWijayanto Samirin MPP sebagai host.
Dalam paparannya, Arsjad menyoroti dampak perubahan geopolitik dunia terhadap kondisi ekonomi nasional.“Situasi internasional sedang berubah, yang memberikan dampak secara tidak langsung kepada Indonesia, khususnya di bidang ekonomi. Peristiwa di Timur Tengah, Trump Effect, perang Ukraine–Rusia, membuat semuanya bergerak ke arah perubahan,”ujarnya. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang selama ini stabil pun mulai melambat.
Namun, Arsjad menekankan bahwa persoalan mendasar Indonesia saat ini bukan sekadar pertumbuhan ekonomi.“Fokus saat ini yang harus diperhatikan serius bukan hanya soal economic growth yang hanya 4,7 persenan, tapi adalah daya beli masyarakat yang terus menurun. Masyarakat bisa dikatakan tidak punya uang saat ini. Karena itu daya beli turun,” ujarnya.

Ia kemudian menyoroti persoalan ketenagakerjaan. Meskipun tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan, jumlah pengangguran justru meningkat menjadi lebih dari 7,28 juta orang. Ia menyampaikan kekhawatirannya,“Yang lebih memprihatikan lagi adalah fakta bahwa hampir 60% angkatan kerja kita masih berada di sektor informal.” Ini mencerminkan rapuhnya struktur ekonomi dan lemahnya penciptaan lapangan kerja formal.
Menurut Arsjad, di Indonesia hanya ada dua sumber penghasilan utama.“Saat ini di Indonesia hanya ada dua sumber pendapatan masyarakat: Pedagang yang mendapat laba dari usahanya, dan kedua, pekerja yang mendapat upah, bonus, dan lain-lain. Jika dua sumber itu tidak lagi ada, maka growth economy tidak akan ada lagi, pasti menurun tajam,” katanya.
Ia juga menjelaskan bahwa investasi yang selama ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja justru lebih bersifat padat modal dibanding padat karya. Di sisi lain, iklim investasi di Indonesia masih dihadapkan pada banyak hambatan.“Untuk menciptakan investasi, baik investasi kecil ataupun besar, tantangannya banyak sekali. Mulai dari soal tanah, preman, permitt, izin-izin dan segala macam persoalan,”tegasnya.
Fenomena lain yang menjadi perhatian adalah meningkatnya migrasi tenaga kerja terampil ke luar negeri. Dari perawat, ahli IT hingga insinyur, banyak yang memilih bekerja di negara lain. “Pastinya mereka bukan tidak cinta negara ini, tapi di luar negeri upah yang diterima bisa 5–8 kali lebih besar dari jumlah upah di dalam negeri. Career path dan akses ke jaminan sosial yang lebih baik,” ucapnya.
Bahkan, Arsjad mengungkapkan,“Kabur dulu aja. Itu adalah fakta, karena memang jumlah lapangan pekerjaan di dalam negeri yang sangat kurang.”
Ia memberikan peringatan keras bahwa bonus demografi Indonesia yang kerap dijadikan harapan besar justru bisa menjadi bencana jika tidak ditangani dengan serius.“Bonus demografi Indonesia yang digadang-gadang menyediakan jumlah tenaga kerja produktif sampai 70% akan menjadi malapetaka jika tidak diperhatikan serius. Di mana tenaga produktivitas banyak, tapi lapangan pekerjaan tidak ada. Itulah PR utama Indonesia sekarang,” ungkapnya.

Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut, Arsjad memperkenalkan pendekatan 3G: Grow People, Gear Up Industry, dan Go Green sebagai pilar utama strategi pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan.
“Grow People diartikan sebagai membangun manusia Indonesia sebagai talenta global – bukan hanya untuk bekerja, tapi juga untuk memimpin dan berinovasi.”Namun realitas saat ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil tenaga kerja Indonesia yang berlatar belakang pendidikan tinggi.
“Hari ini hanya 10% lulusan S1, selebihnya adalah lulusan SMA–SMK dan SMP dan SD. Kebanyakan angkatan kerja kita malah lulusan SMP dan SD saja. IQ Indonesia juga saat ini diketahui turun,” ujarnya.
Pada aspek industrialisasi, Arsjad menekankan pentingnya reindustrialisasi berbasis nilai tambah sebagai motor penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan.“Gear Up Industri adalah mendorong reindustrialisasi berbasis nilai tambah dan pemerataan sebagai motor pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja,” katanya.
Strategi ini mencakup hilirisasi mineral dan manufaktur strategis, reindustrialisasi yang bisa memberi tambahan hingga USD 25 miliar ke PDB, serta perluasan industri ke luar Pulau Jawa dengan pelibatan aktif UMKM.
Sementara itu, pilar ketiga Go Green menekankan transisi energi sebagai peluang pembangunan.“Go Green adalah menjadikan transisi energi sebagai peluang pertumbuhan ekonomi baru,”tegasnya. Pendekatan ini mencakup re-skilling pekerja dari sektor tinggi emisi, pembiayaan hijau untuk UMKM, serta keterlibatan masyarakat lokal dalam proyek transisi energi.
Acara ini menjadi wadah reflektif dan inspiratif bagi sivitas akademika Universitas Paramadina dan publik luas. Dengan semangat “Bertemu, Terinspirasi, Menjadi”, Universitas Paramadina terus berkomitmen menghadirkan para pemimpin bangsa ke tengah mahasiswa, untuk membuka wawasan dan menumbuhkan semangat kepemimpinan masa depan. (*/GK)