
Oleh: Anggawira *)
Presiden Prabowo Subianto membuat langkah penting dalam sejarah awal pemerintahannya: memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong). Keputusan ini bukan hanya kebijakan hukum, melainkan cerminan dari kepekaan politik dan kematangan kenegaraan dalam merespons dinamika nasional.
Kita patut mengapresiasi keberanian kelompok “pro-keadilan” dalam tubuh pemerintahan Prabowo yang mendorong kebijakan ini. Mereka tidak hanya melihat hukum sebagai teks, tetapi juga sebagai ekspresi dari keadilan substantif dan nurani publik.
Hukum dalam Bingkai Konstitusi
Presiden memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, dengan persetujuan DPR. Kedua langkah itu kini telah mendapat legitimasi politik melalui persetujuan parlemen. Maka dari sisi konstitusional, tidak ada yang keliru.
Namun, esensi langkah ini justru terletak pada keberanian politik dan sensitivitas sosial: bahwa hukum tidak hanya soal penegakan prosedur, tetapi juga tentang menjamin keadilan dan menjaga harmoni kebangsaan.
Hasto, Nurani Publik, dan Politik Pemberantasan Korupsi
Amnesti yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto bukan semata-mata menghapus proses pidana, tetapi juga merespons kegelisahan publik hukum sejak awal. Meski secara formil pengadilan bisa saja membuktikan tindak pidana, publik tahu bahwa kasus ini tidak menghadirkan urgensi nyata dalam konteks pemberantasan korupsi yang lebih luas. Proses hukum tampak kehilangan relevansi dan proporsionalitas, serta membuka celah politisasi yang justru mengaburkan tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Dengan amnesti, Hasto kini tak perlu menjalani hukuman dari perkara yang sejak awal dinilai lebih politis ketimbang substansial. Ini menjadi bentuk koreksi kebijakan hukum yang mengembalikan keadilan pada rel nurani publik.
Tom Lembong dan Antiklimaks Peradilan yang Dipaksakan
Kasus Tom Lembong bahkan lebih tragis. Peradilan terhadapnya berjalan seperti dagelan yang kehilangan logika dasar hukum pidana. Tidak adanya unsur mens rea—niat jahat atau kesengajaan dalam tindak pidana—menjadi titik lemah utama yang menihilkan prinsip dasar keadilan.
Kesan kriminalisasi terhadap kebijakan dan represi terhadap perbedaan pandangan menjadi terlalu kentara. Maka ketika pemerintah memutuskan menghentikan seluruh proses hukum melalui abolisi, publik menyambutnya sebagai langkah yang masuk akal dan pro-publik. Ini adalah momen ketika kekuasaan berpihak bukan pada kekuatan politik, tetapi pada akal sehat dan rasa keadilan masyarakat.
Contoh dari Dunia: Amnesti Sebagai Alat Rekonsiliasi
Langkah Prabowo sejalan dengan praktik negara demokratis lain yang menggunakan amnesti dan abolisi sebagai alat pemulihan pasca-konflik politik.
• Afrika Selatan, melalui Truth and Reconciliation Commission, memberikan amnesti sebagai jalan damai pasca-apartheid.
• Kolombia, memberikan pengampunan terbatas kepada kelompok bersenjata demi tercapainya perdamaian nasional.
• Jerman Timur–Barat, menerapkan pendekatan yang serupa setelah reunifikasi untuk menjaga integrasi nasional.
Semua langkah itu didasari oleh pertimbangan kestabilan, rekonsiliasi, dan masa depan bangsa—bukan sekadar urusan teknis hukum.
Kepercayaan Publik dan Politik Keberanian
Di tengah meningkatnya apatisme dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi hukum, langkah ini memberi harapan. Bahwa Presiden Prabowo, melalui kebijakan hukum ini, tidak tunduk pada tekanan kekuasaan hukum formalistik, melainkan memilih berpihak pada akal sehat, kepentingan umum, dan keutuhan nasional.
Dengan ini, Prabowo mengirim pesan bahwa kekuasaan bisa dipakai untuk merajut kembali kepercayaan, bukan mempertajam polarisasi. Ini bukan sekadar pengampunan, tapi langkah rekonsiliasi nasional dalam skala mikro yang membuka ruang konsolidasi dalam skala makro.
Penutup
Terobosan hukum ini bukan sekadar simbol keberanian politik, tetapi juga cermin dari arah baru pemerintahan: berpihak pada stabilitas, keadilan, dan persatuan. Bila dijaga dengan transparansi dan akuntabilitas, keputusan ini dapat menjadi landasan moral dan politik untuk memulai babak baru: politik pembangunan yang berbasis kepercayaan, bukan kecurigaan.
Semoga ini menjadi awal dari rekonsiliasi nasional yang sesungguhnya. Dan semoga pula, kepercayaan publik terhadap pemerintahan, hukum, dan demokrasi bisa tumbuh kembali dengan lebih kokoh. (**)
*) Sekjen Hipmi/ Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM