Jakarta, benang.id – Industri sawit dengan segala tantangan dan dinamikanya pada tahun 2022 dari segi nilai devisa mencapai US$ 39,28 miliar atau tertinggi sepanjang sejarah. Hal ini membuktikan bahwa industri sawit sangat penting bagi perekonomian Indonesia karena sumbangannya terhadap neraca perdagangannya yang sangat tinggi.
Demikian dikemukakan Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dalam acara Press Conference Gapki di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
“Nilai ekspor tahun 2022 mencapai US$ 39,28 miliar meliputi crude palm oil (CPO), olahan dan turunannya, lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar US$ 35,5 miliar,” tutur Joko Supriyono dalam pengantar diskusi terkait sawit dengan narasumber lain Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, dan moderator Kepala Bidang Komunikasi Gapki Tofan Mahdi.
Hadir juga menyampaikan presentasi singkat Wakil Sekjen Aprobi (Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia) Suwandi Winardi, Ketua Umum Apolin (Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia) Rapolo Hutabarat, dan Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung.
Joko menyebutkan produksi CPO Indonesia pada 2022 sebesar 46,729 juta ton, lebih rendah dari produksi 2021 sebesar 46,888 juta ton.
“Ini adalah tahun ke-4, produksi sawit Indonesia tidak tumbuh atau stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia,” ujarnya.
Dibanding tahun 2021, lanjut Joko, produksi CPO tahun 2022 turun, walaupun turunnya sedikit 0,34%. Kemudian crude palm kernel oil (CPKO) 4,5 juta ton, sehingga total produksi sawit 51,2 juta ton.
Adapun konsumsi dalam negeri 2022 secara total mencapai 20,968 juta ton, lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 18,422 juta ton.
Konsumsi didominasi untuk industri pangan sebesar 9,941 juta ton yang lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 8,954 juta ton dan lebih tinggi dari 2019 sebelum pandemi sebesar 9,860 juta ton.
Konsumsi untuk industri oleokimia mencapai 2,185 juta ton yang hanya 2,8% sedikit lebih tinggi tahun 2021 sebesar 2,126 juta ton dan jauh lebih rendah dari kenaikan konsumsi 2019-2020 sebesar 25,4% dan 2018- 2019 sebesar 60% yang diduga berhubungan dengan situasi pandemi Covid-19. Konsumsi untuk biodiesel 2022 mencapai 8,842 juta ton yang lebih tinggi dari konsumsi 2021 sebesar 7,342 juta ton.
Sementara untuk ekspor 2022, lanjut Joko, sebesar 30,803 juta ton lebih rendah dari tahun 2021 sebesar 33,674 juta ton, yang juga merupakan tahun ke-4 berturut-turut dimana ekspor turun dari tahun ke tahun.
“Ini terjadi karena memang harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari harga tahun 2021,” katanya.
Menurut Joko, secara umum ekspor memang turun. Namun ada beberapa destinasi yang mengalami kenaikan. “Yang naik contohnya adalah Amerika, Bangladesh, Middle East, India juga naik cukup besar 40%. Namun dengan turunya ekspor tersebut market share kita di pasar juga turun,” imbuhnya.
Joko mengungkapkan, dengan pencapaian produksi, konsumsi dalam negeri dan ekspor tersebut, stok minyak sawit di dalam negeri diperkirakan mencapai 3,658 juta ton.
Menurut Joko, kondisi yang mempengaruhi industri sawit sepanjang tahun 2022 diperkirakan masih akan mempengaruhi kinerja sawit tahun 2023.
“Produksi diperkirakan masih belum akan meningkat, sementara konsumsi dalam negeri diperkirakan bakal meningkat akibat penerapan kewajiban B35 mulai 1 Februari,” tutup Joko.
Industri maju jika regulasi konsisten
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menyinggung perlunya regulasi yang stabil demi majunya industri dalam negeri. Menurut dia, industri akan mampu beroperasi dengan baik apabila regulasinya konsisten.
“Negara itu maju kalau pengusaha maju. Contohnya Korea. Korea maju pesat, GDP-nya berkembang, pengangguran berkurang, tax makin besar,” tutur Sahat.
Mengenai “penolakan” Uni Eropa terhadap sawit Indonesia, Sahat menilai itu bukan masalah bagi Indonesia. Karena pasar sawit Indonesia bukan hanya UE.
Sahat mengingatkan bahwa palm oil atau minyak sawit mempunyai spesifikasi tertentu (unggul) yang tidak dimiliki atau ditiru oleh minyak apapun. Artinya minyak sawit tidak bisa disubstusi. “Minyak sawit sangat diminati industri cokelat, begitupun produk croissant tidak bisa dibuat dengan enak tanpa menggunakan sawit,” jelas dia.
Oleh karena itu, Sahat menyarankan agar Indonesia dapat mencapai konsumsi domestik 65% dengan mengundang investor dengan regulasi yang konsisten. Jika itu terjadi maka Indonesia dapat menjadi price setter atau penentu harga. “Di sisi lain, kita perlu komit no deforestration dantingkatkan produksi,” katanya.
Terakhir Sahat menegaskan bahwa masa depan minyak sawit Indonesia ada di tangan petani. “Perusahaan besar bisa mencapai produksi 23 ton TBS per hektar per tahun. How high they can go? Para petani kita masih 9,2 ton TBS/Ha/tahun, mereka naik sampai 20 ton maka produksi kita bisa mencapai 80 juta ton. Artinya kita harus memperkuat yang lemah tanpa melemahkan yang kuat,” tandas Sahat. (*)