Pulau Tidung, benang.id – Perubahan iklim berdampak besar terhadap kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati. Perempuan dan anak perempuan menjadi kelompok yang paling rentan, terutama di wilayah pesisir yang berhadapan langsung dengan abrasi, rob, dan kerusakan lingkungan.
Sebagai upaya mendukung ketahanan komunitas pesisir, The Lead Institute Universitas Paramadina menyelenggarakan Program Perempuan & Perubahan Iklim: Adaptasi-Mitigasi Berbasis Komunitas pada 22–23 Agustus 2025 di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Program ini disponsori oleh PT Kilang Pertamina Internasional.
Program edukasi dan workshop melibatkan puluhan perempuan pesisir yang sehari-hari berperan dalam keluarga, ekonomi lokal, hingga pelestarian lingkungan. Peserta memperoleh materi serta pelatihan singkat mengenai strategi adaptasi sekaligus praktik mitigasi sederhana berbasis komunitas.
Acara dibuka oleh Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Veronica Tan melalui rekaman video. Dalam sambutannya, Veronica menekankan pentingnya peran perempuan sebagai aktor utama dalam menjaga ketahanan keluarga dan komunitas di tengah krisis iklim.
“Perempuan tidak hanya rentan terhadap perubahan iklim, tetapi juga bisa menjadi aktor atau agen perubahan yang efektif terkait mitigasi dan adaptasi,” kata Veronica.
Ia menambahkan, perempuan memiliki pengetahuan dan keahlian yang dapat diterapkan dalam mitigasi perubahan iklim, strategi pengurangan risiko bencana, serta adaptasi berbasis komunitas. “Peran perempuan sebagai pengurus sumber daya alam dan rumah tangga memungkinkan mereka berkontribusi dalam strategi penghidupan yang disesuaikan dengan realitas perubahan lingkungan,” jelasnya.
Budaya Lokal sebagai Modal Sosial
Direktur The Lead Institute Universitas Paramadina, Suratno Muchoeri menyatakan, pemberdayaan perempuan menjadi kunci memperkuat ketahanan masyarakat pesisir. Selain teknis adaptasi, program edukasi perempuan dan perubahan iklim juga mengangkat kearifan budaya lokal yang sejak lama menempatkan perempuan pada posisi penting dalam menjaga keseimbangan alam.
“Indonesia memiliki dua modal besar dalam menghadapi perubahan iklim, yakni budaya dan agama. Dalam antropologi, banyak cerita rakyat yang mengungkap aspek gender dan budaya. Dalam konteks perubahan iklim, kami menyoroti simbol budaya seperti Dewi Laut dan Dewi Darat,” kata Suratno.
Ia mencontohkan, berbagai daerah di Indonesia mengenal simbol perempuan sebagai pelindung alam. Misalnya sosok Nyi Roro Kidul di Jawa Tengah, Sunan Ambu di masyarakat Sunda, Jawa Barat, Putri Mandalika di Suku Sasak NTB. Sementara orang Batak menyebutnya Siboru Biding Laut, Ina Kabuki di Maluku, Ina Lefa di NTT hingga Ratu Niyang Sakti di Bali.
“Artinya, kebudayaan kita sejak lama memposisikan perempuan pada kedudukan mulia: sebagai pelindung, pengayom, dan penjaga keseimbangan alam,” ujarnya.
Rangkaian kegiatan yang dimoderatori Peneliti The Lead Institute, Maya Fransiska SAg menghadirkan pemaparan materi lintas disiplin dari akademisi, praktisi, hingga aktivis. Pakar Gender Rumtini Ikhsan PhD, menyoroti keterhubungan erat antara krisis iklim dan ketidaksetaraan gender. Ia mengingatkan bahwa beban perempuan akan semakin berat ketika lingkungan rusak.
“Perempuan menghadapi beban ganda ketika lingkungan rusak, tetapi sekaligus punya kapasitas besar untuk memimpin perubahan. Mengatasi krisis iklim berarti juga memperkuat kesetaraan gender,” jelasnya.
Dr Sunaryo, dosen Universitas Paramadina, mengangkat ekoteologi sebagai perspektif etis dalam menjaga lingkungan. Ia menegaskan bahwa spiritualitas dapat menjadi energi perubahan. “Ekoteologi mengajarkan bahwa menjaga alam bukan hanya kewajiban ekologis, tetapi juga kewajiban spiritual. Mengurangi sampah, merawat air, dan mengelola energi adalah bagian dari ibadah,” ujarnya.
Aspek transisi energi dipaparkan oleh pakar energi Prayitno Prayogo ST MBA menampilkan inovasi Sustainable Aviation Fuel berbahan baku minyak jelantah. “Energi masa depan harus berkelanjutan. Indonesia punya potensi besar dari sumber daya yang sering kita anggap limbah, seperti minyak goreng bekas. Ini bukan hanya solusi energi, tetapi juga solusi lingkungan,” paparnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Paramadina Dr Ica Wulansari mengungkapkan hasil penelitiannya tentang dampak perubahan ekosistem laut berdasarkan kesaksian masyarakat di Pulau Tidung. “Dulu ikan mudah ditangkap di sekitar pesisir. Sekarang banyak jenis biota yang hilang, dan masyarakat merasakan langsung dampaknya pada penghidupan mereka,” ungkapnya.
Dari sisi ekologi pesisir, Pakar Mangrove Hani Djoko SSi MSi menjelaskan manfaat rehabilitasi mangrove, tidak hanya secara ekologis tetapi juga secara ekonomi. “Mangrove adalah benteng alami dari abrasi sekaligus sumber ekonomi baru. Dari buah, daun, hingga kayu, semua bisa diolah menjadi produk bernilai tambah bagi masyarakat pesisir,” terangnya.
Kontribusi pendidikan diwakili oleh Mozayanah SPd MPd, guru SMKN 61 Jakarta, memaparkan upaya pengelolaan sampah berbasis sekolah. “Anak-anak kami belajar mengolah sampah organik menjadi kompos. Dengan begitu, mereka tidak hanya peduli pada lingkungan, tapi juga menghasilkan produk yang bisa digunakan sendiri atau dijual,” katanya.
Dari perspektif komunikasi publik, praktisi digital Suandri Ansah menekankan pentingnya digital promotion dan branding untuk memperkuat suara perempuan pesisir. “Branding bukan sekadar soal visual. Ia merekam cerita. Kisah sederhana para petani kangkung atau nelayan bisa menjadi identitas yang kuat ketika dipromosikan secara digital,” jelasnya.
Deklarasi Komunitas Dewi Laut
Selain sesi materi, kegiatan ini juga mencakup aksi penanaman 100 pohon mangrove dan bersih-bersih sampah laut dipandu oleh Ubaidillah dari Pusat Budidaya dan Konservasi Laut (PKBL) Provinsi DKI Jakarta. Para peserta, termasuk ibu-ibu lokal terlibat antusias dan aktif dalam kegiatan tersebut.
Acara ditutup dengan pembacaan Deklarasi Dewi Laut oleh para peserta sebagai simbol komitmen kolektif perempuan pesisir dalam menjaga laut dan ekosistemnya. Rangkaian kegiatan diakhiri dengan aksi bersih pantai secara bersama-sama. (*/GK)