Jakarta, benang.id – Wacana sistem pemilu proporsional tertutup yang digulirkan oleh beberapa pihak baru-baru ini menimbulkan tanda tanya. Apalagi Keputusan MK tanggal 23 Desember 2008 telah menetapkan bahwa Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka dengan sistem yang digunakan adalah suara terbanyak.
Analis politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menilai bahwa dengan adanya dorongan agar sistem pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup sinyal terhadap kemunduran demokrasi Indonesia. Setidaknya keputusan MK di tahun 2008 sudah diterapkan di Pemilu 2009, 2014, dan 2019. Kekurangan dan kelebihan dari sistem proporsional terbuka tidak harus dijawab dengan kembali ke sistem proporsional tertutup.
“Memilih caleg secara langsung adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh masyarakat. Jika nama-nama caleg ditentukan oleh parpol dan siapa yang berhak menjadi anggota DPR/DPRD juga diatur oleh parpol, posisi rakyat dalam ruang demokrasi di Indonesia semakin lemah. Terus, manfaat pemilu sebagai legitimasi masyarakat terhadap pemimpin dan perwakilannya lagi-lagi diatur oleh parpol”, ungkap Arifki, dalam keterangan tulisnya di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Menurut dia, sistem proporsional tertutup ini merugikan banyak hal. Pertama, peluang kader perempuan terpilih sebagai anggota DPR/DPRD lebih kecil. Wewenang parpol dalam menentukan siapa yang berhak masuk ke parlemen bakal menyulitkan kader-kader perempuan bersaing di internal dalam memperebutkan rekomendasi elite.
Kedua, partai-partai yang selama ini mengandalkan calegnya untuk meningkatkan suara partai harus kalah dengan partai yang memiliki “brand” yang kuat.
Ketiga, elite partai politik memiliki kendali penuh dengan meminimalisir ruang partisipasi publik. Anggota DPR/DPRD terpilih bakal mendahulukan kepentingan parpol dari pada kepentingan masyarakat.
Pengusul kembali ke sistem proporsional tertutup, tandas Arifki, tidak boleh menyalahkan sistem proporsional terbuka begitu saja. Jika parpol merasa anggota DPR/DPRD lebih mendahulukan kepentingan masyarakat dari pada partai setelah terpilih. Padahal, parpol memiliki wewenang dalam menentukan nama-nama caleg. Sudah seharusnya parpol memulai dengan memperbaiki sistem kaderiasi dan rekrutmen politik, bukannya kembali ke sistem proporsional terutup.
“Permasalahan parpol itu kaderisasi dan rekrutmen, bukan sistem pemilu itu harus terbuka atau tertutup. Rakyat sudah menikmati bahwa mereka punya kuasa terhadap anggota DPR/DPRD terpilih atau tidaknya. Jika masyarakat sudah merasa tidak punya hak lagi menentukan siapa perwakilan mereka di DPR dan DPRD. Artinya, demokrasi kita ibarat istana di atas pasir yang indah dilihat, tetapi nyatanya mudah roboh”, tutup Arifki. (*)