Bogor, benang.id – Selalu ada yang berbeda dan unik dari Pesantren Inggris Assalam, Bogor yang dulunya merupakan Rumah Sahabat Anak (RSA) Puspita . Pesantren yang didirikan pada 2012, dan sudah meluluskan 127 santri dengan beragam tingkat kelulusan yakni SMA dan SMP, ini dalam wisuda nya menampilkan konsep Sinema dimana hasil produksi film dari para santri termasuk enam santri yang diwisuda ke -9 pada Sabtu (6/7) lalu di Cinepolis Lippo Ekaloksari, Bogor ditampilkan dalam acara tersebut.
Memang keunikan pendidikan dari Pesantren Inggris ini adalah metode pengajarannya menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-hari, hingga konsep wisudanya juga berbeda dari umumnya. “Dalam acara wisuda kali ini, diputarkan beberapa film karya para santri Pesantren Inggris Assalam. Salah satunya film Sehari Semimpi, yang diprakarsai oleh santri bernama SyaAnisa. Sementara itu, film pendek lainnya karya para santri lainnya dapat ditonton di channel Youtube Tidak Sekolah,” ujar Syalwa Ristiannisa, wisudawati yang sudah menempuh pendidikan selama 6 tahun di pesantren Inggris Assalam, Bogor dalam siaran persnya , Senin (8/7) malam.
Menurut Hafas, putra ke-2 dari Ali Qohar, pendiri Pesantren Inggris Assalam, mengatakan wisuda angkatan ke-9 Pesantren Inggris Assalam terdiri dari 1 lulusan setingkat SMA dan 5 lulusan setingkat SMP.
“Pesantren kami memang tidak menerima santri lebih dari 50 orang setiap tahunnya, ujarnya. Pesantren Inggris, lanjutnya, mempunyai kurikulum dan program pendidikan santri dengan gayanya sendiri. Sejak angkatan pertama pada 2013 sudah 89 siswa SMP dan 38 siswa setingkat SMA yang berhasil dididik dan diwisuda di Pesantren Inggris Assalam.
“Kami mempunyai dua program, yang tiga tahun dan enam tahun. Di program tiga tahun anak anak mendapat bekal bahasa Inggris, basic nahwu sorof, dan pengenalan minat bakatnya si anak,” jelas Hafas lagi.
Untuk program enam tahun, sambungnya, selain penguatan skill, anak anak juga disiapkan untuk mandiri dengan mempunyai usaha sendiri.
“Pendidikan tidak hanya berbasis akademik dan agama, tapi lebih kepada kecakapan hidup (life skill), seperti musik, multimedia, perfilman, desain grafis, pembuatan roti, dan lain-lain,” tambah putra Aang, sapaan sang ayah Ali Qohar yang meninggal tiga tahun lalu.
“Kita mau bikin wisuda ini berkesan dan tidak kalah dengan anak-anak yang sekolah di luar. Kita memilih nuansa di bioskop, karena saya minat di perfilman dan tugas akhir saya di pesantren juga membuat film pendek dengan profesional. Dan inilah penayangan perdana film yang saya dan teman-teman buat,” imbuh salah satu wisudawati setingkat SMA.
Tampung Anak Jalanan
Lebih lanjut, Hafas mengatakan, pesantren yang dikelolanya mendapat dukungan dari coorporate social responsibility (CSR) PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari.
Sebelumnya, pesantren tersebut berupa Rumah Sahabat Anak (RSA) Puspita yang menampung puluhan anak jalanan. Anak-anak itu berasal dari keluarga marginal yang harus ikut mencari nafkah sebagai pemulung, pengemis, buruh, ataupun tukang koran untuk membantu menopang kehidupan keluarga.
Dari sisi kesehatan, lingkungan, apalagi pendidikan, anak-anak jalanan tersebut sangat rentan dan tidak tercukupi kebutuhannya. Di sinilah RSA Puspita mengambil peran. RSA Puspita didirikan secara resmi pada 16 Mei 2000 yang diprakarsai Aang. Dengan bantuan dana dari Bogasari dan Kedutaan Besar Swiss, RSA Puspita berhasil membeli rumah kecil di Jalan Tegal Amba no 7 Duren Sawit, Jakarta Timur pada 2002, setelah sebelumnya mengontrak selama 2 tahun.
Aang dan istrinya, Dwi Adlah, yang akrab dipanggil Umi, kemudian menampung sejumlah anak-anak jalanan tersebut dan sekaligus bertindak sebagai orangtua bagi mereka.
“Beberapa anak-anak jalanan di angkatan awal Puspita sudah ada yang berhasil menjadi pengusaha,” imbuhnya. Riyadin, misalnya, yang dulu anak jalanan dan ditampung di RSA Puspita sudah berhasil membuka usaha susu kedelai dengan merek Puspita dan produksi 500 ribu gelas cup per bulan atau omset Rp550 juta per bulan.
“Riyadin sengaja memilih pakai merek Puspita karena disanalah dia merasa dididik dan dibesarkan,” ucap Hafas yang mengelola pesantren dibantu 14 guru.
Wisuda angkatan ke-9 kemarin juga dihadiri Tessa Piper, relawan guru dari Inggris yang rutin datang setiap bulan ke pesantren. Ia melakukan evaluasi sekaligus mengasah bahasa Inggris para santri. Ide awal penggunaan bahasa Inggris itu dari Kaviel Alawy, anak pertama almarhum Ali Qohar pendiri Assalam.
“Meski mengambil tagline unik “Tidak Sekolah”, pesantren Inggris Assalam terus menekankan edukasi agar para alumninya bisa melanjutkan kehidupan, baik bekerja atau kuliah seusai lulus dari Assalam,” tutup Hafas. (*)