Jakarta, benang.id – Dalam sepekan ke depan perhatian masyarakat Indonesia umumnya boleh jadi masih terfokus pada gelaran Pilkada Serentak yang diawali dengan pencoblosan pada Rabu (27/11/2024). Namun bagi umat Katolik, tiga hari sejak Rabu, 27 November 2024 merupakan momen spiritual terkait Bunda Maria, yakni Pesta Medali Wasiat (27 November), Pesta St Catherine Laboure (28 November), dan Pesta Serikat Puteri Kasih (29 November).
Ketiga pesta peringatan tersebut tak terpisahkan, terkait erat satu sama lain. Diawali tanggal 27 November, umat Katolik merayakan Pesta Bunda Maria dari Medali Wasiat. Pesta “Medali Wasiat” adalah pesta memeringati penampakan Perawan Maria Tak Bernoda kepada Sr Catherine Laboure, seorang suster anggota Serikat Puteri Kasih yang sederhana, sebanyak tiga kali (18 Juli, 27 November, dan Desember 1830).
Pada penampakan kedua, Bunda Maria menampakkan diri sedang berdiri di atas separo bola dunia. Di tangan, ia juga memegang bola dunia yang di atasnya berdiri satu salib, sebagai simbol dunia dan manusia yang ada di dalam dipersembahkan kepada Allah. Lalu Bunda Maria membuka tangannya, yang mengalirkan cahaya yang berwarna-warni sebagai lambang rahmat yang disalurkannya.
Lalu Sr Catherine melihat bentuk oval mengelilingi Maria dengan tulisan di pinggirnya “Ya Maria, yang dikandung tak bernoda; doakanlah kami yang berlindung kepadamu” Dan satu bentuk oval lain dengan tulisan “M” dengan tanda salib di atasnya (lambang Maria dengan Yesus); di bawahnya ada dua hati satu dengan mahkota duri dan satunya tertembus pedang (Hati Yesus yang Mahakudus dan Hati Maria seperti diramalkan oleh Simeon); di luarnya ada 12 bintang (sebagai lambang Suku Israel, Umat Terjanji, Gereja pada saat ini).
Catherine mendengar Bunda Maria meminta dia untuk membuat medali seperti itu dan siapa pun yang mengenakan medali itu pada lehernya akan menerima karunia-karunia dan berkat yang besar dan melimpah. Sejak medali itu dibuat tahun 1832, banyak orang mendapatkan mukjizat dan bertobat karena medali ini, sehingga akhirnya medali itu disebut miraculous, membuat banyak mukjizat.
Sederhana. Saleh, Rajin, dan Penuh Pengabdian
Selanjutnya tanggal 28 November umat Katolik memeringati pesta St Catherine Laboure, seorang kudus yang diberkati penampakan Bunda Maria yang Dikandung Tanpa Dosa dan menyebarkan devosi Medali Ajaib atau medali Wasiat.
Catherine merupakan suster yang amat sederhana juga saleh, sangat rajin dan penuh pengabdian. Meski sepanjang hidupnya Catherine tidak pernah belajar membaca dan menulis, Allah berkenan menjadikannya sebagai alat-Nya.
Dilahirkan dengan nama Zoe Laboure pada 2 Mei 1806 di Fain-les-Moutiers, Prancis, Catherine adalah anak kesembilan dari 11 putra putri keluarga Pierre dan Louise Laboure. Kesebelas anak itu terdiri dari delapan putra dan tiga putri. Pierre Laboure seorang yang terpelajar dan kemudian menjadi petani sukses.
Kecintaan dan keyakinan Sr Catherine kepada Bunda Maria sudah tampak sejak kecil. Ketika ibunya meninggal dunia, Zoe yang kala itu berusia sembilan tahun dan sangat sedih, masuk ke kamarnya, berlutut di bawah patung St Perawan Maria dan berdoa, “Bunda Maria, sekarang engkaulah ibuku.”
Sejak Zoe menerima komuni pertama pada tahun 1818, setiap hari ia bangun pukul empat pagi, berjalan beberapa mil untuk mengikuti misa dan berdoa di gereja. Keinginan Zoe untuk masuk biara sangat kuat, meski keinginannya itu ditahannya karena tenaganya masih dibutuhkan di rumah.
Ketika usianya 19 tahun, Zoe mendapat mimpi yang aneh. Dalam mimpinya, ia sedang berdoa di gereja di Fains. Ketika misa selesai, seorang imam tua yang mempersembahkan misa. menunjuk kepada Zoe dengan jarinya dan berkata:“Anakku, merawat orang-orang sakit adalah perbuatan yang baik. Suatu hari kelak engkau akan datang kepadaku. Tuhan telah memanggilmu untuk itu. Janganlah engkau lupa.”
Nah, pada tahun 1828, saat adik perempuannya, Tonine, yang berusia 20 tahun sudah bisa menggantikan kedudukannya mengurus rumah tangga, Zoe berbicara kepada ayahnya mengenai panggilan hidupnya. Namun, ayahnya berusaha mencegah keinginan Zoe, dan justru mengirimnya ke Paris untuk tinggal bersama kakaknya yang telah menikah.
Suatu hari ketika Zoe mengunjungi Biara Suster Puteri-Puteri Kasih, ia melihat lukisan seorang imam tua terpampang di dinding. Inilah karya Tuhan. Ternyata imam tua itu yang mengunjunginya dalam mimpi di Fains. Dan, terjawab sudah arti mimpi Zoe. Imam tua itu adalah Pendiri kongregasi PK, Santo Vincentius a Paulo yang telah wafat 200 tahun sebelumnya!
Perlu diketahui, St Vincentius a Paulo merupakan pendiri dua komunitas besar: imam-imam Congregasi Misi (CM) dan Suster-suster Puteri Kasih (PK).
Zoe bergabung dengan Kongregasi Suster Puteri-Puteri Kasih di Rue de Bac, Paris, pada tahun 1830, dan memilih nama Suster Catherine. Di Biara inilah Catherine memperoleh penampakan-penampakan luar biasa. Selama tiga hari berturut-turut ia mendapat penampakan hati St Vincentius di atas tempat relikui St Vincentius disimpan.
Di waktu lain, ia melihat Tuhan yang Maharahim di depan Sakramen Maha Kudus; penampakan seperti ini terjadi teristimewa pada Misa Kudus di mana Tuhan akan menampakkan diri sesuai dengan bacaan liturgi pada hari itu.
Pada 18 Juli, menjelang Pesta St Vincentius a Paulo yang akan dirayakan keesokan harinya, seorang Suster Superior menceritakan kepada para novis keutamaan-keutamaan Pendiri Kongregasi mereka serta membagikan kepada mereka masing-masing sepotong kain dari jubah St Vincentius. Dengan sungguh-sungguh Sr Catherine memohon bantuan doa St Vincentius agar ia diperkenankan memandang Bunda Allah. Kemudian Sr Catherine pergi tidur.
Pada tengah malam tanggal 18/19 Juli 1830, ia dibangunkan oleh seorang “anak kecil yang bercahaya”. Dengan jelas ia mendengar suara seseorang memanggil-manggil namanya hingga tiga kali, “Suster Laboure!” Ia tersentak bangun dan tampaklah di hadapannya seorang anak kecil berusia kira-kira empat atau lima tahun. Anak kecil ini mengajaknya ke kapel.
“Bunda Maria menanti engkau di kapel!“ kata anak kecil itu. Dalam sikap ragu-ragu, penuh tanda tanya dan takut, Suster Catherine bersama anak kecil ajaib itu melangkah ke kapel. Herannya, semua pintu kapel terbuka dengan sendirinya, lilin-lilin dan lampu-lampu di dalam kapel itu menyala.
Dan benarlah pemberitahuan anak kecil itu! Setelah menunggu setengah jam lamanya, tiba-tiba anak kecil itu berbisik, “Inilah Perawan Terberkati.” Di sebelah altar turunlah Santa Maria Bunda Maria muncul dan berlutut menyembah Sakramen Mahakudus, lalu duduk di kursi Pastor. “Dengan satu langkah saja,” kata Sr Catherine , “aku berada di dekatnya. Tanganku bertumpu di atas lutut Bunda Maria. Itulah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku.”
Lebih dari dua jam, Bunda Maria berbicara dengan Catherine perihal tugas perutusannya yang dipercayakan Tuhan kepadanya, serta kesulitan-kesulitan yang bakal dialaminya dalam mengerjakan tugas tersebut. Setelah Bunda Maria pergi, anak kecil itu mengantarkan Sr Catherine kembali ke ruang tidur. Terdengarlah lonceng berbunyi dua kali tetapi Sr Catherine tidak dapat tidur lagi.
Napak Tilas St Catherine
Kisah St Catherine mendapat penampakan anak kecil yang bercahaya itu juga diceritakan oleh Suster Anna PK, Asisten Jenderal untuk Wilayah Asia Pasifik Kongregasi Puteri Kasih kepada AM Putut Prabantoro, dewan Pembina Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) dan Lucius Gora Kunjana, sekretaris PWKI di Rumah Pusat Puteri Kasih di Rue de Bac, Paris, Prancis, akhir April 2024 lalu.
Sr Anna bahkan mengajak Putut dan Gora “napak tilas” menyusuri tempat-tempat saat Sr Catherine pertama kali melihat “anak kecil yang bercahaya” itu dan kemudian mengikuti pergerakan cahaya itu hingga mengantarkannya ke sebuah altar dimana Santa Maria Bunda Maria menampakkan diri dan berlutut menyembah Sakramen Mahakudus, lalu duduk di kursi pastor.
Setelah penampakan anak kecil, Sr Catherine menerima penampakan kedua terkait medali wasiat tersebut di atas. Saat Sr Catherine bertanya bagaimana medali itu dibuat. Bunda Maria mengatakan bahwa ia harus pergi kepada Bapa Pengakuannya, Romo Jean Marie Aladel karena: “Ia adalah hambaku.” Awalnya, Rm Aladel tidak percaya akan apa yang dikatakan Sr Catherine , namun, setelah dua tahun berlalu, ia pergi juga kepada Uskup Agung Quelen di Paris. Dan, tanggal 20 Juni 1832 Uskup Agung Quelen memerintahkan agar segera dibuat 2000 Medali.
Begitu Sr Catherine menerima medalinya, ia langsung menyebarluaskan. Devosi kepada medali yang dianjurkan oleh Sr Catherine secara ajaib menyebar dengan cepat. Pertobatan dan mukjizat-mukjizat yang terjadi melalui Medali Santa Perawan Maria tak terhitung banyaknya. Ini membuat nama resmi medali tersebut “Medali dari Yang Dikandung Tanpa Dosa” dilupakan orang. Mereka kemudian lebih suka menyebutnya Miraculous Medal (Medali Ajaib) atau di Indonesia disebut Medali Wasiat.
Pada tahun 1836, Komisi Khusus yang ditunjuk oleh Uskup Agung menyatakan bahwa penampakan Santa Perawan Maria di Kapel Biara Puteri-Puteri Kasih di 140 Rue du Bac, Paris, Prancis adalah benar.
Serikat yang Sudah Berusia 401 Tahun
Sementara tanggal 29 November diperingati sebagai pesta Serikat Puteri-Puteri Kasih (PK). Tahun ini PK genap berusia 401 tahun.
Suster Puteri Kasih adalah puteri-puteri Gereja Katolik yang membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan dalam diri orang-orang miskin. Dalam Gereja Katolik, Serikat Suster-Suster Puteri Kasih berada dalam jajaran Serikat Hidup Kerasulan. Serikat atau kongregasi (sebutan untuk kelompok religius Katolik) suster Puteri Kasih ini didirikan oleh Santo Vincentius a Paulo dan Luisa de Marillac tahun 1633 di Prancis.
Sejarah Puteri Kasih diawali pada abad ke-17 di Prancis saat kemiskinan yang hebat melanda seluruh negeri. Kemiskinan itu diakibatkan oleh perang saudara yang berkecamuk. Kemiskinan tak hanya di desa-desa, yang biasanya menjadi tempat pertempuran, namun juga di kota-kota.
Vincentius a Paulo, seorang imam Katolik salah satu dari para imam pembaharu Gereja Katolik Prancis, amat prihatin melihat kemiskinan itu. Setelah pengalaman berkotbah di Folleville (1617) yang menjadi asal usul pendirian Kongregasi Misi (CM) dan Chatillon les Dombes yang menjadi titik tolak pendirian “konferensi cinta kasih” (atau persaudaraan ibu-ibu cinta kasih), Vincentius mengumpulkan gadis-gadis yang bersedia melayani orang miskin. Mereka bekerjasama dengan kelompok ibu-ibu cinta kasih untuk merawat dan melayani orang miskin.
Sampai pada suatu saat, datanglah seorang gadis desa bernama Margaret Nasseau yang menyediakan diri untuk mengunjungi dan melayani orang-orang miskin secara total. Pengabdian Margaret Nasseau membuat Vincentius mengerti apa yang dikehendaki Tuhan untuk melayani umatnya yang miskin dan menderita.
Margaret Nasseau wafat beberapa saat kemudian tahun 1633, karena terjangkit penyakit yang mematikan dari pasien orang miskin yang dia layani. Sepeninggal Margaret Nasseau, Vincentius mengumpulkan sekitar empat atau lima gadis dan menyerahkannya kepada Luisa de Marillac, seorang janda suci dengan satu anak, untuk dibina. Berkumpulnya beberapa gadis inilah yang kemudian dimaknai sebagai awal pendirian kongregasi suster-suster Puteri Kasih. Dan, kehadiran mereka, menurut Vincentius a Paulo untuk melakukan apa yang dikerjakan oleh “Puteri Kasih Pertama”: Margaret Nasseau, yaitu mengunjungi, melayani, merawat orang-orang miskin dimana pun mereka diutus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 November 1633. Dan, Luisa de Marillac dipandang sebagai “ibu” yang membina dan memimpin para gadis yang kelak akan memberi sumbangsih besar dalam karya cinta kasih kepada Gereja dan dunia.
Pada jamannya, kehadiran Suster Puteri Kasih dipandang revolusioner. Suster Puteri Kasih adalah tarekat religius pertama yang dapat pergi leluasa untuk melayani orang-orang miskin. Sebab, pada waktu itu yang disebut tarekat religius harus tinggal di dalam biara-biara. Sementara, para suster Puteri Kasih tidak tinggal di dalam biara, melainkan pergi melayani dan mengunjungi mereka yang telantar dan terluka.
Dalam sejarahnya, para Suster Puteri Kasih adalah tarekat religius yang banyak bertugas di garis depan, seperti pada masa perang mereka bertugas merawat para korban maupun serdadu-serdadu yang terluka. Ketika kemiskinan di Eropa merebak hebat seiring dengan revolusi Prancis yang tidak kunjung selesai, para suster ini mencurahkan tenaganya untuk melayani mereka, membagi sup hangat, mengobati yang sakit.
Sesudah Perang Dunia I dan PD II para suster Puteri Kasih banyak menangani rumah-rumah sakit. Saat ini seiring dengan jumlah anggota yang terus menyusut, mereka mencurahkan diri dalam pelayanan-pelayanan yang lebih fleksibel untuk orang-orang miskin baru, seperti penderita AIDS, orang-orang kusta, anak-anak yatim piatu, merawat korban bencana alam, pendidikan sekolahan, pelayanan kesehatan di klinik-klinik, dan pastoral orang muda.
Puteri Kasih di Indonesia
Puteri Kasih di Indonesia berawal dari kedatangan tiga suster pertama, Sr Andrea PK, Sr Henriette PK, dan Sr Amelia PK pada tahun 1931 atas undangan dari Prefek Apostolik Surabaya, Mgr Theophile de Backere CM. Mereka pertama-tama bertugas di rumah panti asuhan Don Bosco, Surabaya.
Para Suster Puteri Kasih dari Belanda dari tahun 1931 hingga tahun 1939 (tahun terakhir sebelum Perang Dunia II) sudah mencapai 19 suster. Sementara periode 1940 sampai 1948 merupakan periode gelap bagi karya pelayanan para suster PK. Kedatangan misionaris selanjutnya baru mungkin tahun 1948. Sampai tahun 1964, atau tahun terakhir kedatangan para suster misionaris PK Belanda, para suster semuanya saat itu ada 32 orang.
Di seluruh dunia, serikat Puteri Kasih memiliki anggota sekitar 22.500 suster (data tahun 2021) yang tersebar di 96 negara di lima benua. Sedangkan di Indonesia, jumlah suster Puteri Kasih adalah sekitar 90-an. Rumah Pusat atau rumah provinsialat Suster PK ada di Kediri. (*/dari berbagai sumber)