Sunday, November 24, 2024
No menu items!
spot_img
HomeEkonomiFintech Lending jadi Solusi Pembiayaan dan Inklusi Pendidikan di Indonesia

Fintech Lending jadi Solusi Pembiayaan dan Inklusi Pendidikan di Indonesia

Jakarta, benang.id – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memastikan pembiayaan dari fintech lending untuk layanan pendidikan resmi diakui sebagai entitas bisnis yang memiliki dasar hukum dan juga berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Oleh karena itu, keberadaan payung hukum yang mengatur fintech lending memastikan keamanan dalam operasionalnya sehingga menjadi solusi layanan keuangan untuk pendidikan.

Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar mengatakan peran fintech lending dapat mendorong inklusi sektor pendidikan, dan ini sudah dilakukan oleh sejumlah anggota AFPI berizin OJK sebagai solusi pembiayaan atau eduloan. Kerja sama fintech lending ini dilakukan dengan perguruan tinggi, lembaga kursus hingga lembaga pengembangan kompetensi lainnya.

“Pendidikan adalah kunci bagi kemajuan individu dan masyarakat secara keseluruhan, namun seringkali tantangan finansial menjadi penghalang dalam meraih pendidikan berkualitas. Industri Fintech Lending telah berkomitmen untuk menerapkan layanan terbaik dalam mengoptimalkan akses layanan pendidikan melalui kolaborasi antara Perguruan Tinggi dengan lembaga jasa keuangan,” kata Entjik dalam acara LawTech Mini Roundtable yang diselenggarakan AFPI dengan mengundang sejumlah narasumber termasuk akademisi secara online, Rabu (27/3/2024).

LawTech Mini Roundtable dengan tajuk “Mengoptimalkan Akses Layanan Pendidikan Melalui Strategi Berbasis Lembaga Jasa Keuangan” ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai pemberian layanan produk keuangan berupa pinjaman untuk optimalisasi akses pendidikan dalam konteks hukum dan teknologi, khususnya bagi lembaga jasa keuangan serta memastikan operasional yang sesuai dengan regulasi terkini.

Kuasa Hukum AFPI dari Surya Mandela & Partners, Mandela Ignasius Sinaga mengatakan ada beberapa regulasi yang relevan terkait implementasi pembiayaan kepada sektor pendidikan tinggi. Diantaranya, penyelenggara fintech lending atau Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) tidak terdapat larangan untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi karena dilindungi UU P2SK dan POJK 10/2022.

“Selain fintech lending yang memberikan fasilitas pinjaman kepada mahasiswa juga ada dari bank, BPR. Atas pemberian fasilitas tersebut, tidak terdapat sanksi yang diberikan oleh KPPU. Tindakan fintech lending yang diduga telah melanggar Pasal 76 UU No.12/2012 bukan merupakan ruang lingkup KPPU. Hal ini karena dalam ayat 1 dan 2 tidak mengatur larangan bagi pihak ketiga untuk memberikan fasilitas pinjaman kepada mahasiswa,” kata Mandela.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) No.10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. POJK ini dikeluarkan untuk mengembangkan industri keuangan yang dapat mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan, mempermudah dan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat dan pelaku usaha melalui suatu layanan pendanaan berbasis teknologi informasi.

OJK juga terus mendorong penguatan dan penguatan industri LPBBTI dengan meluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi 2023-2028 yang merupakan hasil kolaborasi bersama AFPI dan juga kalangan akademisi serta pengamat ekono​mi Indonesia. Melalui berbagai strategi dan program kerja yang tercakup dalam roadmap tersebut, OJK bertekad untuk mewujudkan industri LPBBTI yang sehat, berintegritas, dan berorientasi pada inklusi keuangan dan perlindungan konsumen serta berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi nasional.

LawTech Mini Roundtable bertajuk Mengoptimalkan Akses Layanan Pendidikan Melalui Strategi Berbasis Lembaga Jasa Keuangan digelar AFPI secara online, Rabu (27/3/2024). Foto: AFPI

Terkait pendanaan pendidikan, Prof Dr Aswanto SH MSi DFM, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin menjelaskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi telah termaktub norma bahwa pendanaan pendidikan tinggi bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat. Dalam hal ini sumber dana masyarakat bisa berasal dari penghasilan tetap atau tidak tetap, hingga kredit dari lembaga pendanaan.

“Lembaga pendanaan bisa berasal dari pemerintah, swasta maupun lembaga pendanaan lain seperti pinjaman online yang legal sesuai dengan ketentuan OJK. Untuk akses pendanaan pendidikan sendiri menjadi hak masing-masing individu, apalagi aksesnya dari lembaga yang sudah diotorisasi regulator. UUD Tahun 1945 sudah menegaskan tanggung jawab negara untuk memajukan pendidikan Indonesia, namun tidak bisa semata-mata hanya didasarkan dari APBN, karena tidak akan cukup. Oleh karena itu seharusnya kita mengapresiasi lembaga-lembaga yang ingin ambil bagian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara,” ujar Aswanto.

Alfonsus Wibowo, CEO Danacita mengungkapkan kesenjangan biaya menjadi salah satu kendala utama yang menyebabkan masih rendahnya partisipasi masyarakat pada pendidikan tinggi di Indonesia, terlebih dengan pilihan pembiayaan eksternal yang terbatas. Hal tersebut mendorong Danacita untuk turut serta memajukan pendidikan di Indonesia dengan meningkatkan jumlah pelajar pendidikan tinggi melalui solusi pembiayaan yang memahami penuh kebutuhan para pelajar dan dunia pendidikan tinggi. Sejak berdiri, Danacita sudah menyalurkan lebih dari Rp 400 miliar biaya pendidikan untuk pelajar di seluruh Indonesia.

“Pendidikan menjadi segmen pasar yang belum banyak dilayani dan kami hadir mengisi kekosongan tersebut untuk memberikan akses pembiayaan yang terjangkau. Kata kuncinya, kami tertantang untuk memberikan solusi, yaitu alternatif pembiayaan yang selama ini tidak banyak ditemui pilihannya di pasaran. Dengan semangat inklusivitas, Danacita membuka peluang baru bagi mereka yang belum pernah memiliki akses pembiayaan perbankan. Kami merasa bertanggung jawab untuk sedikit berkontribusi bagi kemajuan pendidikan Indonesia,” ujar Alfonsus.

Direktur Eksekutif AFPI Yasmine Meylia S mengatakan Penyelenggara fintech lending akan terus berupaya meningkatkan akses pembiayaan bagi masyarakat termasuk sektor pendidikan tinggi. Dimana dari 101 anggota AFPI berizin OJK, terdapat 4 platform yang fokus dalam pendanaan sektor pendidikan.

Menurut data OJK, hingga Januari 2024, pendanaan dari fintech lending ke sektor Pendidikan sebesar Rp2,47 triliun, atau 1,49% dari total penyaluran pinjaman ke sektor produktif yang tercatat sebesar Rp 165,82 triliun. Secara keseluruhan, hingga Januari 2024, industri fintech lending sudah menyalurkan pendanaan lebih dari Rp785 triliun dengan 123,45 juta borrower (peminjam) dan 1,4 juta lender (pemberi pinjaman).

“Melalui diskusi yang mendalam, kita sudah bersama-sama mendengarkan pemahaman kita untuk terus bersinergi, mempermudah akses pembiayaan untuk sektor pendidikan. Kehadiran pihak lembaga keuangan, dalam hal ini fintech p2p lending yang semestinya mendapat dukungan, namun banyak tantangan. Kita refleksi dan koreksi pandangan-pandangan tersebut. AFPI sebagai asosiasi resmi yang membawahi fintech lending, senantiasa mengajak seluruh anggotanya untuk tumbuh memberikan kontribusi terhadap kemudahan pembiayaan pendidikan di Indonesia,” tutup Yasmine. (*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments